Mempertanyakan Ekonomi Syariah dalam Sistem Kapitalis

Oleh Guspiyanti 
KANTOR Perwakilan Bank Indonesia Balikpapan menyelenggarakan kegiatan Pekan Ekonomi Syariah Nusantara (PESAN) 2025 yang berlangsung meriah di Main Atrium Pentacity Mall Balikpapan, Balikpapan Super Blok pada Sabtu (21/06/2025). Kegiatan ini mengangkat tema “Sinergi dan Kolaborasi Pengembangan Ekonomi dan Keuangan Syariah Melalui Optimalisasi Pengelolaan Wakaf dan Sertifikasi Produk Halal.”

Kegiatan ini menjadi momentum strategis untuk memperkuat kolaborasi antara otoritas keuangan, pemerintah daerah, lembaga keagamaan, dan pelaku usaha dalam membangun ekosistem ekonomi syariah yang inklusif dan berkelanjutan.

Salah satu momen penting dalam rangkaian acara adalah penyerahan sertifikat halal kepada para pelaku usaha, sebagai langkah konkret mendukung penguatan sektor halal di daerah. PESAN 2025 menjadi cerminan komitmen bersama untuk membangun ekonomi syariah yang tangguh, inklusif, dan selaras dengan perkembangan zaman, khususnya di tengah era digital dan kebutuhan pasar halal global yang terus berkembang. (kaltim.kemenag.go.id)

Bertolak Belakang

Acara ini diselenggarakan oleh pemerintah untuk merangkul tokoh masyarakat demi membangun ekonomi syariah. Apakah yang di maksud dengan ekonomi syariah dalam sistem kapitalisme? Apakah sesuai dengan ketetapan syara atau hanya sekadar label?

Ekonomi syari'ah yang dimaksud pemerintah adalah dengan meningkatkan ekonomi masyarakat dengan adanya wakaf dan sertifikat halal bagi pelaku UMKM. Pelaku usaha mikro dan kecil diberi keleluasaan untuk menyatakan sendiri kehalalan produknya tanpa perlu pengujian dan verifikasi laboratorium oleh lembaga yang kredibel atau audit syar’i yang objektif. 

Pelaku usaha di beri kebebasan untuk menyatakan sendiri kehalalan produknya tanpa perlu pengujian, ini bentuk kecerobohan yang memberi celah bagi para pebisnis nakal untuk berlaku curang. Beberapa waktu lalu beredar produk makanan haram yang berlabel halal.

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan sembilan produk pangan olahan yang terdeteksi mengandung unsur babi (porcine). Ini berdasarkan hasil pengujian laboratorium menggunakan parameter uji DNA dan/atau peptida spesifik porcine.Dari sembilan produk yang terdeteksi, tujuh produk di antaranya telah bersertifikat halal. (CNBC Indonesia).

Dengan adanya temuan sembilan jenis produk makanan yang mengandung babi ini, bukan tidak mungkin masih banyak makanan yang beredar di masyarakat muslim negeri ini juga mengandung babi. Tentu saja peristiwa ini sangat miris. Pasalnya, sebagai negeri muslim terbesar di dunia, semestinya makanan yang diproduksi dan dikonsumsi oleh masyarakat muslim telah benar-benar dijamin kehalalannya oleh negara.

Bisnis dalam sistem kapitalisme tidak memperdulikan halal-haram. Sebab, sistem ini merupakan sistem yang memisahkan urusan duniawi (termasuk urusan bisnis) dari nilai-nilai dan hukum agama. Segala sesuatu hanya berorientasi pada keuntungan materi (profit motive). Sistem ini pun hanya menjadikan pertumbuhan ekonomi dan akumulasi kapital sebagai tujuan utama.

Aspek spiritual sekadar menjadi dokumen administratif. Agama tidak lebih dari alat penetrasi pasar. Dalam logika sistem ini, sertifikat halal bukan amanah ilahiah atau syar’i, melainkan sekadar alat komoditas bisnis untuk memperluas pasar konsumen muslim. 
Demi tujuan kemudahan usaha dan mendorong pertumbuhan ekonomi, akhirnya prinsip syariat dikorbankan atas nama efisiensi dan ekspansi pasar. Negara tidak lagi bertindak sebagai penjaga akidah, tetapi sebagai fasilitator pasar yang ditimbang bukan halal atau haram, tetapi untung atau rugi. 

Ekonomi syariah adalah salah satu cabang dari sistem peraturan Islam. Aturan dalam ekonomi syariah wajib sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah. Jika ingin menerapkan perekonomian syariah di bawah sistem kapitalis seperti sekarang, tentu akan ada banyak hal yang terpaksa “disesuaikan”. Artinya, hanya perekonomian syariah yang menguntungkan bagi kelanggengan kapitalisme saja yang akan diambil.

Oleh karena itu, sangat tidak mungkin mengharapkan sistem ekonomi syariah dapat diterapkan secara sempurna dalam Kapitalisme. Sebab keduanya bertolak belakang. Satunya memakai sekularisme yang menghilangkan peran agama dalam mengatur urusan duniawi, sedangkan Islam menjadikan seruan Allah (halal-haram) sebagai landasan.

Sistem Islam

Satu-satunya cara agar bisa menerapkan ekonomi syariah secara sempurna hanya melalui sistem pemerintahan yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan Sunah. Negara akan menerapkan sistem ekonomi syariah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. Negara akan menjalankan perekonomian di sektor riil sehingga perekonomian masyarakat akan berjalan dengan sendirinya. 

Sistem ekonomi Islam juga mengatur pendapatan dan pengeluaran keuangan melalui baitulmal. Dalam hal ini Islam menetapkan jizyah, fai, kharaj, ganimah, dan pengelolaan SDA masuk ke baitulmal. Semua pemasukan itu akan dipakai untuk memenuhi kebutuhan dasar seluruh rakyatnya.

Negara juga akan mengatur pengumpulan dan pembagian zakat. Hanya orang-orang yang berhak menerima zakat yang akan memperolehnya sebab zakat adalah harta khusus yang tidak boleh dimanfaatkan untuk apa pun, kecuali sesuai aturan Islam. Negara tidak akan membiarkan negara lain mengintervensi serta akan memakai mata uang dengan standar dinar dan dirham yang akan menghalangi terjadinya inflasi.

Sistem ekonomi syariah tidak bisa tegak sendiri perlu dukungan dari  sistem Islam lainnya, seperti pemerintahan, sanksi, pergaulan, pendidikan, dan sebagainya. Maka sistem ekonomi Islam hanya bisa kokoh bila Islam diterapkan secara Kaffah (menyeluruh) dalam segala aspek kehidupan. Wallahu'alam bis-shawab

Penulis adalah Aktivis Muslimah Berdomisili di Balik Papan,  Kalimantan Timur 

0 Komentar