Kasus HIV Meningkat, Islam Jadi Penyelamat

Oleh Saridah

KASUS HIV di Kota Samarinda hingga kini masih didominasi oleh kelompok Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL), yakni laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan sesama laki-laki. Fakta tersebut diungkapkan Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Samarinda, dr. Ismid Kusasih, pada Jumat (12/9/2025).

Menurut Ismid, tren kasus HIV pada kelompok tersebut konsisten menempati posisi tertinggi dari tahun ke tahun. “Data yang ada menunjukkan kelompok LSL menempati posisi tertinggi kasus HIV di Samarinda,” katanya.

Sekarang ada juga ibu-ibu rumah tangga yang positif HIV,” kata Ismid. Ia menilai kondisi tersebut sebagai peringatan bahwa HIV di masyarakat ibarat fenomena gunung es. Semakin banyak skrining dilakukan, semakin besar pula kasus yang terdeteksi.

Tantangan dari Cengkraman Kapitalisme 

Kasus HIV/AIDS yang semakin meningkat ini menjadi salah satu tantangan kesehatan global yang kompleks di negeri ini. Ada faktor biologis, sosial, ekonomi, dan politik yang saling terhubung. Ketidakmampuan pemerintah Bekasi dalam menyelesaikan masalah ini, dapat dikaitkan dengan sistem kapitalisme, sekularisme, dan liberalisme yang mendominasi tatanan dunia saat ini.

Apalagi kapitalisme mendorong logika pasar dalam semua aspek kehidupan manusia, termasuk sektor kesehatan. Obat Antiretroviral (ARV) sering kali dipatenkan oleh perusahan farmasi besar yang jelas-jelas mengejar keuntungan. Meski ada upaya negara menurunkan harga, namun negara berkembang atau negara miskin kesulitan membeli obat tersebut.

Terlebih, sekularisme yang sering mengabaikan aspek moral dan spiritual dalam menangani masalah kesehatan yang ada. Sistem ini lebih fokus pada menyediakan akses layanan kesehatan, seperti jarum steril dan kondom, daripada membangun sistem sosial yang mendorong perilaku bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan masyarakat. Penyelesaian seperti ini tidak pernah bisa menyentuh akar permasalahan, seperti seks bebas dan penyalahgunaan narkoba. Mengerikan!

Sejak 2010 angka 12.553 kasus HIV tersebut merupakan akumulasi data selama 12 tahun, yakni sejak 2010 hingga September 2022. Sejak 2010, penanggulangan kasus HIV/AIDS di Indonesia diklaim membaik yang ditandai dengan penurunan kasus infeksi baru.

Meski demikian, penyebaran kasus HIV masih perlu diwaspadai karena penurunan infeksi baru masih belum mencapai target yang diharapkan oleh pemerintah. Apalagi, hadirnya pandemi Covid-19 telah menghambat program pemerintah untuk mewujudkan eliminasi HIV/AIDS 2030.

Menurut pihak Kemenkes, temuan kasus infeksi HIV pada anak menandakan bahwa orang tua perlu mendapatkan akses pengetahuan dan layanan kesehatan kepada anak-anaknya. Hanya saja, akses tersebut masih terbatas pada kalangan tertentu.

Mayoritas Penderita HIV/AIDS adalah Pelaku L687

Lebih menyedihkan lagi, mayoritas penderita HIV/AIDS adalah pelaku L687. Memang, berdasarkan data Kemenkes, penularan HIV di Indonesia masih didominasi kelompok heteroseksual, yakni sebanyak 28,1% dari total keseluruhan kasus. Namun, menyusul 18,7% total keseluruhan kasus di Indonesia dialami oleh kelompok L687.

Hal ini berkelindan dengan catatan Dinas Kesehatan Kota Batam bahwa jumlah kenaikan kasus HIV/AIDS di Kota Batam mencapai 446 orang pada 2022 yang didominasi akibat penyimpangan perilaku pasangan sejenis. Dari 446 kasus positif HIV/AIDS di Batam tersebut, di antaranya meliputi 333 pria dan 113 perempuan, terdiri dari 2.594 orang yang dites, sedangkan yang meninggal dunia sebanyak 57 orang dari total 8.800 orang terindikasi positif HIV/AIDS.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam Didi Kusmardjadi mengatakan bahwa frekuensi peningkatan kasus HIV/AIDS karena pasangan sejenis bukan hanya terjadi di Batam, melainkan juga Indonesia secara nasional, bahkan di negara lain.

Omong Kosong HAM

Hak asasi manusia (HAM) selama ini acapkali menjadi alibi terkuat untuk menepis stigma terhadap perilaku seks bebas dan L687. Seks bebas diposisikan sebagai aspek individualisme yang menjadi jargon besar pemikiran sekuler yang lahir dari ideologi kapitalisme.

Demikian halnya L687, para pelaku dan pembelanya selama ini mati-matian mencari celah untuk memperjuangkan nasib L687 yang konon selalu tersingkir dan terdiskriminasi oleh masyarakat umum. Tidak heran, mayoritas negara maju pengasong sekularisme pun ramai-ramai melegalkan pernikahan sesama jenis demi tunainya kebebasan berperilaku yang tidak lain adalah salah satu pilar sistem demokrasi, sistem yang mewadahi penerapan kapitalisme.

Kasus HIV/AIDS adalah data yang selalu disembunyikan agar pelaku L687 mendapatkan ruang dalam tata pergaulan normal di tengah masyarakat. Padahal, keberadaan mereka sejatinya adalah racun yang sangat menghancurkan masyarakat.

Bagaimanapun, HIV/AIDS adalah akibat pasti bagi pelaku seks bebas, terlebih jika mereka L687. Namun, data HIV/AIDS sangat jarang diungkap ketika mereka sedang berbusa-busa mengampanyekan ide sesat seks bebas dan L687. 

Jelas, perjuangan atas nama HAM yang mereka dengungkan selama ini sejatinya hanyalah omong kosong besar agar ide busuk mereka dapat selalu terkemas manis dan terus tersebar untuk menghancurkan generasi, terkhusus di negeri-negeri muslim.

Dalam Islam memiliki aturan tegas perihal seks bebas dan L687. Islam adalah aturan yang bersumber dari Allah Ta'ala, Sang Khalik yang menciptakan manusia dan Maha Mengetahui fitrah manusia. Allah telah menyediakan aturan yang juga pasti sesuai fitrah manusia itu sendiri.

Pembangkangan manusia pada aturan Allah telah menyebabkan kebebasan berperilaku tumbuh subur, khususnya dalam naungan payung individualisme yang terjamin oleh sistem demokrasi dan kapitalisme dengan aturan sekuler yang menjadi pelumasnya.

Jika mayoritas kasus HIV/AIDS tersebab oleh perilaku seks bebas terutama oleh pasangan sesama jenis, lihatlah bahwa Islam telah menyediakan aturan mengenai haramnya hubungan sesama jenis. Islam juga mengharamkan seks bebas dengan lawan jenis. Islam bahkan telah menutup pintu-pintu menuju liberalisasi seksual (zina), seperti pergaulan bebas (dengan lawan jenis maupun sejenis), bercampur baur dengan lawan jenis (ikhtilat), dan berdua-duaan antara lawan jenis tanpa disertai mahram (khalwat).

Allah Taala berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al-Isra’ [17]: 32).

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (QS An-Nuur [24]: 2).

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya perkara yang paling aku takuti pada umatku adalah munculnya perilaku kaum Luth.” (HR Tirmidzi).

Beliau SAW juga bersabda, “Siapa yang menjumpai orang yang melakukan perbuatan homoseksual seperti kelakuan kaum Luth, maka bunuhlah keduanya (pelaku dan objeknya).” (HR Ahmad dan Abu Daud).

Jika aturan Islam diterapkan, perilaku seks bebas dapat dihentikan. Kasus HIV/AIDS tidak lagi menjadi fenomena gunung es. Jelas, Islam adalah satu-satunya sistem yang mampu memutus rantai liberalisasi seksual.

Khatimah

Sungguh, keterikatan seorang muslim terhadap aturan Allah adalah salah satu benteng pelindung dari liberalisasi seksual, selain kontrol masyarakat dan penerapan aturan Islam oleh negara Islam (Khilafah). Dengan Islam, manusia tidak akan berpikir tentang liberalisasi seksual, alih-alih L687, karena kedua hal ini adalah tindak kriminal/kejahatan besar (jarimatul kubra).

Rasulullah SAW telah mengingatkan dalam sabdanya, “Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (HR Bukhari).

Liberalisasi seksual, baik dengan lawan jenis maupun sejenis, memiliki sanksi yang luar biasa tegas dalam Islam. Sanksi zina dan hubungan sejenis hanya akan mandul jika memang ada ideologi jahat yang melindungi kriminalitas itu. Wallahualam bissawab.

Penulis  adalah seorang Aktivis Muslimah Berdomisili di Kota Samarinda, Kalimantan Timur 

0 Komentar