PADA KAMIS, 28 Agustus 2025 telah terjadi demonstrasi di sejumlah daerah. Hal ini bermula dari demonstrasi buruh dan mahasiswa di depan Gedung MPR/DPR RI, Senayan, yang mengkritik tunjangan fantastis bagi anggota parlemen.
Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Syahardiantono mengumumkan hasil penindakan hukum terhadap pelaku kerusuhan saat demonstrasi pada 25 Agustus - 31 Agustus 2025 di berbagai daerah di Indonesia. "Total ada 959 tersangka, dengan rincian 664 dewasa dan 295 anak," ujar Syahardiantono dalam konferensi persnya di gedung Bareskrim Polri, Rabu, 24 September 2025.
Komisioner KPAI Aris Adi Leksono menyebut bahwa penetapan 295 tersangka berusia anak tersebut di atas tidak memenuhi standar perlakuan terhadap anak sesuai UU Peradilan Anak.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga mengingatkan kepolisian akan potensi pelanggaran hak asasi manusia dalam penetapan 295 tersangka berusia anak dalam kasus tersebut. Ketua Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan, polisi harus mengkaji kembali apakah penetapan tersangka ini sudah sesuai dengan hukum acara pidana dalam sistem peradilan pidana anak (SPPA). Selain itu, Komnas HAM pun mendorong agar kepolisian transparan dalam mengusut tindak kerusuhan tersebut.
Suara Gen Z Dikriminalisasi
Aneh tapi nyata. Beginilah potret politik Demokrasi di bawah naungan sistem rusak Kapitalisme. Slogan kebebasan berbicara dan berpendapat di ruang publik yang secara teori diungkapkan sebagai pilar Demokrasi nyatanya hanya ilusi semata.
Kala Gen Z menyuarakan kritik terhadap kebijakan pemerintah justru bui menanti. Padahal di saat yang sama, mereka (Gen Z) menjadi target pemerintah dalam sosialisasi pendidikan politik agar mereka melek politik, paham, sadar, dan berpartisipaasi aktif dalam urusan politik. Namun, dengan adanya kriminalisasi ini malah mengarah kepada sebuah simpul bahwa Demokrasi hanya memberi ruang pada suara yang sejalan. Sedang yang mengancam akan dijegal dan dikriminalisasi.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita menuntut pergantian sistem. Bukan hanya sekadar ganti kebijakan, bubarkan DPR, atau ganti rezim. Sebab, akar dari semua polemik yang terjadi dari awal munculnya penyebab demostrasi hingga kriminalisasi adalah karena sistem yang berkuasa saat ini.
Menarik Hubungan yang Khas Antara Politik, Gen Z, dan Islam
Islam adalah agama yang sempurna sekaligus sistem hidup yang meliputi segala perkara yang dihadapi oleh umat manusia. Termasuk di dalamnya, politik. Politik (as-siyasâh) berakar dari kata sâsa–yasûsu–siyâsat[an], artinya ‘mengatur, memimpin, memelihara dan mengurus suatu urusan’.
Dengan demikian, politik adalah aktivitas mengurusi urusan umat, sebagaimana dalam hadis Nabi saw., “Dahulu Bani Israil telah diurus oleh para nabi. Ketika seorang nabi telah wafat, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sungguh tidak ada lagi nabi setelahku. Yang akan ada adalah para khalifah (pengganti Nabi saw.) sehingga jumlahnya banyak.” (HR Muslim).
Dalam Islam, politik bukan hanya membahas seputar perebutan kekuasaan, melainkan pada pengaturan urusan masyarakat dengan hukum-hukum Islam, baik di dalam maupun luar negeri.
Politik dilaksanakan oleh negara dan rakyat. Negara secara langsung melakukan pengaturan ini dengan hukum-hukum Islam. Rakyat, termasuk di dalamnya Gen Z, mengawasi, mengoreksi, dan meluruskan negara jika menyimpang dari Islam.
Gambaran ini diungkapkan oleh Ibnu Qutaibah (w. 276H), “Perumpamaan antara Islam, kekuasaan, dan rakyat adalah laksana tenda besar, tiang, dan tali pengikat serta pasaknya. Tenda besarnya adalah Islam. Tiangnya adalah kekuasaan. Tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat. Satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya.”
Selain itu, berdasarkan tarikh (sejarah), Rasulullah saw. ketika diangkat menjadi Rasul, berumur 40 tahun. Pengikut beliau, yang merupakan generasi pertama, kebanyakan juga dari kalangan pemuda dan remaja, bahkan ada yang masih anak-anak.
Mereka dibina Rasulullah saw. setiap hari di rumah Arqam bin Abil Arqam. Di antaranya adalah Ali bin Abi Thalib dan Zubai bin Awwam, yang paling muda, keduanya ketika itu berusia 8 tahun; Thalhah bin Ubaidillah (11); Arqam bin Abil Arqam (12); Abdullah bin Mas’ud (14) yang kemudian menjadi ahli tafsir terkemuka; Saad bin Abi Waqas (17) yang kelak menjadi panglima perang yang menundukkan negara adikuasa Persia; Ja’far bin Abi Thalib (18); Zaid bin Haritsah (20); Utsman bin Affan (20), Mush’ab bin Umair (24), Umar bin Khaththab (26).
Dan masih terdapat puluhan ribu pemuda lain yang terlibat aktif dalam dakwah menegakkan panji-panji Islam pada masa hidup Rasulullah saw.. Umumnya mereka adalah pemuda, bahkan remaja yang baru berangkat dewasa.
Usamah bin Zaid yang saat itu berusia 18 tahun diangkat oleh Nabi sebagai komandan pasukan Islam dalam penyerbuan ke Syam pada Perang Tabuk melawan tentara adikuasa Romawi. Padahal, di antara pasukan Islam terdapat sahabat, seperti Abu Bakar dan Umar bin Khaththab yang lebih tua darinya.
Begitu juga Abdullah bin Umar. Jiwa perjuangan Islam telah memanasi jiwanya sejak umur 13 tahun. Suatu ketika, Rasulullah saw. tengah menyiapkan pasukan untuk Perang Badar. Datang kepada Rasulullah saw. dua remaja Islam, Abdullah bin Umar dan Al-Barra’ meminta agar diterima sebagai anggota pasukan Islam, tetapi ditolak Rasulullah saw. karena masih terlampau kecil (diperkirakan kurang dari 13 tahun).
Tahun berikutnya, menjelang Perang Uhud, mereka datang lagi kepada Rasulullah saw. untuk maksud yang sama, dan yang diterima hanya Al-Barra’. Pada Perang Ahzab, barulah Abdullah bin Umar diterima sebagai anggota pasukan Islam (Sahih Bukhari).
Dari fakta sejarah di atas, terlihat jelas bagaimana politik, pemuda, dan Islam sangat berhubungan erat. Ketika Islam diterapkan, potensi Gen Z akan diarahkan sesuai fitrahnya, yakni sebagai tonggak perubahan. Kesadaran politik mereka diasah dan diarahkan sesuai Al-Qur'an dan Sunah.
Suara mereka didengar. Sebab, Islam memang mewajibkan untuk beramar makruf nahi mungkar. Mereka wajib mengoreksi penguasa bila berbuat zalim. Abu Said al-Khudzri berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jihad yang paling afdal adalah menyatakan keadilan di hadapan penguasa yang zalim.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ad-Dailami).
Keutamaan amar makruf nahi mungkar kepada penguasa juga dinyatakan dalam sabda Rasul saw. yang lain, “Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib dan laki-laki yang berdiri di hadapan penguasa yang zalim lalu ia memerintah penguasa itu (dengan kemakrufan) dan melarangnya (dari kemungkaran), kemudian penguasa itu membunuh dirinya.” (HR Al-Hakim dan Ath-Thabarani).
Dari sini, sejatinya tidak ada sistem selain sistem Islam yang mampu memfasilitasi kekritisan berpikir dan kesadaran politik Gen Z. Oleh karena itu, teruslah bersuara atas ketidakadilan dan kezaliman sistem Demokrasi hingga sistem ini mati dan tergantikan dengan Islam Rahmatan Lil 'Alamin. Wallahu 'alam.
Penulis: Djumriah Lina Johan (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)
0 Komentar