Miras Ancaman Bagi Generasi Muda dan Masyarakat

SEBANYAK 710 botol minuman keras ilegal berhasil diamankan Satpol PP Samarinda dalam operasi penertiban di Jalan Cipto Mangunkusumo, Simpang Tiga, Kecamatan Loa Janan Ilir. Razia ini menindak warung kelontong yang berulang kali menjual miras ilegal tanpa izin resmi. Operasi penertiban dilakukan Satpol PP Kota Samarinda pada Selasa (15/9/2025) dengan menyasar sebuah warung kelontong yang sudah berulang kali melanggar aturan. Dari lokasi, petugas menyita 710 botol minuman keras berbagai merek.

Fakta bahwa peredaran minuman keras (miras) masih marak di Kota Samarinda, terutama di toko-toko kelontong, patut menjadi perhatian serius bagi semua pihak. Ketua Komisi IV DPRD Kota Samarinda Mohammad Novan Syahronny Pasie dengan tegas menyoroti masalah ini, mengingat dampak buruk yang dapat ditimbulkan terhadap generasi muda.

Peraturan Daerah (Perda) Kota Samarinda Nomor 5 Tahun 2023 seharusnya menjadi landasan hukum yang kuat untuk menegakkan larangan miras di kota ini. Namun, realitas menunjukkan bahwa keberadaan miras masih menjadi momok yang sulit diberantas.

Peraturan ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif minuman beralkohol dan mengatur tempat-tempat yang diperbolehkan menjual miras. Izin penjualan minuman beralkohol hanya diberikan kepada bar dan restoran di hotel berbintang, sesuai dengan Pasal 6 Ayat 1 Perda Kota Samarinda Nomor 5 Tahun 2023.

Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitas penegakan aturan yang ada. Apakah Perda tersebut hanya menjadi formalitas belaka? Sikap tegas dari pemangku kebijakan sangat dibutuhkan untuk melarang peredaran miras, bukan hanya pembatasan pengaturan edar.

Miras, baik legal maupun ilegal, seharusnya tidak memiliki tempat dalam masyarakat. Sebab Penguasa berkewajiban melindungi masyarakat dari kejahatan dan kemaksiatan dalam bentuk apapun termasuk miras. Dalam pandangan sekuler, halal-haram tidak akan menjadi standar baku dalam menilai sesuatu, termasuk miras. Dampaknya, sesuatu yang jelas diharamkan dalam Islam bisa dihalalkan dengan berbagai cara.

Sistem ekonomi kapitalisme tidak mengenal barang halal dan haram, yang di kenal hanya nilai barang dan jasa bersifat relatif dan subjektif. Artinya,  selama barang dan jasa tersebut ada yang menginginkan dan membutuhkan maka dianggap benda ekonomi yang boleh diproduksi atau dikonsumsi. Meski berbahaya dan memiliki dampak buruk, seperti miras, selama mendatangkan keuntungan, tidak ada pelarangan memproduksi dan mengedarkannya. Negara hanya akan mengaturnya agar legal dan berizin.

Pandangan Islam

Dalam pandangan Islam, minum khamar (miras/minol) merupakan kemaksiatan besar. Sanksi bagi pelakunya adalah dicambuk 40 kali dan bisa lebih dari itu. Islam juga melarang semua hal yang terkait dengan khamar, mulai dari pabrik atau produsen minuman beralkohol, distributor, toko yang menjual, hingga konsumen (peminumnya). Dalam sistem Islam, negara akan mencegah dan menindak segala bentuk kemaksiatan dan keharaman, di antaranya:

Pertama, negara menjamin terpenuhinya akses pangan halal dengan aman dari individu hingga komunitas masyarakat. Negara akan melarang produksi, distribusi, dan konsumsi pangan yang diharamkan dalam Islam.

Kedua, negara membina keimanan dan ketakwaan dari individu hingga pejabat negara dengan sistem pendidikan Islam berbasis akidah Islam dan sistem sosial dan pergaulan sesuai Islam dalam rangka mencegah masyarakat berbuat mungkar.

Ketiga, negara menegakkan sanksi Islam yang memberi efek jera bagi para pelaku maksiat, seperti hukuman cambuk bagi pelaku peminum khamar, sebagaimana hadis Nabi ï·º,“Rasulullah ï·º. mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali. Abu bakar juga 40 kali. Sedangkan Usman 80 kali. Kesemuanya adalah sunah. Namun, yang ini (80 kali) lebih aku sukai.”(HR Muslim).

Keempat, negara hanya menetapkan pendapatan dari sumber keuangan yang halal yang sudah diatur dalam baitulmal. Seburuk apa pun kondisi keuangan, negara tidak akan menghalalkan segala cara demi memenuhi pendapatan yang dibutuhkan. Ketika kas baitulmal kosong, negara akan menarik dharibah (pajak) dari orang-orang kaya yang muslim. Mekanisme seperti ini bersifat sementara dan berakhir ketika kebutuhan tersebut terpenuhi atau kas negara terisi kembali.

Adapun sanksi terhadap pelaku selain peminum khamar maka negara akan menetapkan hukuman takzir, yakni hukuman yang ditetapkan oleh khalifah atau kadi sesuai ketentuan syariat Islam.

Dalam sistem Islam, pemerintah dan seluruh rakyat wajib menetapkan baik dan buruk serta boleh dan tidaknya sesuatu beredar di tengah masyarakat berdasarkan pandangan syariat Islam. Apabila Allah Taala menetapkan sesuatu itu haram, pasti ia akan menimbulkan bahaya dalam kehidupan masyarakat, termasuk miras.

Dengan demikian, mengatasi masalah miras tidak bisa dilakukan dengan setengah hati. Diperlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan masyarakat, pemerintah, dan hukum yang tegas. Islam telah memberikan panduan yang jelas dalam melindungi akal manusia, yakni dengan melarang miras dan menerapkan sanksi yang tegas. Pentingnya penegakan syariat Islam secara total dalam sistem pemerintahan Islam adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan berakhlak.

Maka, memberantas miras bukan sekadar mengatasi kejahatan, tetapi juga merupakan ikhtiar dalam menjaga akal masyarakat agar tetap sehat dan waras. Hal ini akan membantu masyarakat menuju kehidupan yang lebih aman, produktif, dan penuh berkah. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.

Penulis : Guspiyanti (Aktivis Muslimah)

0 Komentar