Raperda Minol: Keharaman yang Dilegalkan

DIGODOKNYA Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol dianggap dapat memberi nilai ekonomis bagi daerah. Hal tersebut dikarenakan, belum adanya payung hukum mengikat perihal Minuman Keras (Miras) yang marak peredarannya di tengah masyarakat dan dijual secara ilegal.

Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Paser, Zulfikar Yusliskatin, menyampaikan bahwa digodoknya Raperda tersebut berpotensi memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kendati demikian, peningkatan PAD bukanlah satu-satunya tujuan dari produk hukum yang sudah masuk tahap pembahasan naskah akademik ini.

Selain itu Raperda tersebut dinilai sangat penting dalam konteks posisi strategis Kabupaten Paser yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota Nusantara (IKN). Arus investasi dan peluang usaha di sektor hiburan malam akan meningkat seiring dengan perkembangan IKN.

Zulfikar berharap, Raperda tentang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol dapat segera rampung Supaya menjadi payung hukum bagi aparat, dan menciptakan keseimbangan antara pengawasan, ketertiban sosial serta potensi ekonomi daerah.

Meningkatkan Pemasukan, Maka Boleh

Sebagaimana kita ketahui minol merupakan minuman yang berbahaya bagi kesehatan. Mengkonsumsinya dapat menyebabkan hilangnya kesadaran, kerusakan organ tubuh bahkan kehilangan nyawa. Banyaknya dampak yang ditimbulkan harusnya menjadi bahan pertimbangan untuk menyetop peredaran minol. 

Dengan di buatkannya payung hukum berupa Raperda tentang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol memperlihatkan bagaimana negara mengabaikan dampak tersebut hanya demi PAD (Pemasukan Asli Daerah). Legal ataupun ilegal, berizin ataupun tidak harusnya komoditi ini dilarang. Hal yang tentu membuat miris ialah di negeri mayoritas muslim, barang haram layaknya minol justru sulit diberantas. Masyarakat disuruh untuk membantu melakukan pengawasan dan pelaporan, namun disisi lain pemerintah justru memberi izin dan memfasilitasi minol karena pajak yang didapat.

Inilah wajah buruk dalam sistem yang di terapkan saat ini yakni sistem kapitalisme. Di mana sistem ini hidup atas dasar manfaat dan kepentingan. Sulitnya minol diberantas dikarenakan banyak kepentingan yang di akomodir. Bisnis miras dengan perputaran uang yang sangat menggiurkan menjadikan bisnis ini akan terus subur. Ditambah dengan kebijakan yang mendukung para kapital (pemilik modal) lewat UU yang disahkan maka mustahil bisa memberantas minol ke akar-akarnya. 

Ini pula yang menjadi bukti bahwa paham sekularisme (pemisahan aturan agama dari kehidupan) kuat mengakar di negeri ini. Barang yang jelas-jelas haram dalam agama masih diproduksi sekalipun  mendatangkan kemudharatan bagi masyarakat. Asalkan ada manfaat dan materi yang didapat maka semua jadi boleh. 

Mutlak Keharamannya!

Islam memandang minol atau minuman beralkohol merupakan barang haram karena memabukkan dan menimbulkan bahaya (dharar) bagi manusia. Dari Ummu Salamah r.a , ia berkata “Rasulullah saw melarang dari segala yang memabukkan dan mufattir (yang membuat lemah)” (HR. Abu Daud no. 3686 dan Ahmad 6: 309).

Di dalam syariat Islam, seorang pemimpin diwajibkan untuk menjaga 8 hal yakni agama, jiwa, harta, keturunan, kehormatan, keamanan, kedaulatan negara dan yang terakhir akal. Inilah yang menjadi landasan dasar untuk menghilangkan segala sesuatu yang dapat merusak akal manusia, termasuk salah satunya miras. Upaya preventif dan kuratif akan dilakukan oleh negara untuk memberantas miras hingga ke akar-akarnya. 

Upaya preventif dilakukan dengan melakukan edukasi dan pengawasan. Semua elemen bersinergi baik itu individu, masyarakat dan aparatur negara untuk melakukan amar makruf dalam mengawasi tempat-tempat yang disinyalir menjadi tempat produksi dan peredaran miras. Sedangkan upaya kuratif yang dilakukan adalah pemberian sanksi tegas yang akan diberlakukan baik terhadap peminum, pengedar dan yang memproduksi karena hal ini masuk kategori tindak kriminal. Sanksi ta’zir di berlakukan berdasarkan keputusan khalifah atau qadhi (hakim) baik itu bentuk dan kadar sanksinya. Terhadap peminum  diberikan sanksi berupa hukuman cambuk sebanyak 40 kali. Ditambah dengan rehabilitasi gratis jika masuk kategori kecanduan. Ali ra. Berkata: 

“Rasulullah saw. Mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali. Abu bakar juga 40 kali. Sedangkan Utsman 80 kali. Kesemuanya adalah sunah. Namun, yang ini (80 kali) lebih aku sukai.” (HR Muslim).

Sedangkan untuk yang memproduksi dan yang mengedarkan dijatuhi hukuman berat karena dampak luas yang ditimbulkan dimasyarakat. Inilah mekanisme efektif yang akan diterapkan oleh negara yang berlandaskan aturan Islam. Sejatinya permasalahan umat akan terus ada dan tidak akan terselesaikan selama hukum yang dipakai bukan berasal dari aturan Islam. Sistem kapitalis saat ini terbukti tidak mampu menyelesaikan, maka sudah seharusnya ditinggalkan. Umat harus beralih pada sistem yang haq yakni Islam, sistem yang maha sempurna dan adil karena berasal dari Sang Pencipta. Wallahu alam bishawab

Penulis: Siti Subaidah (Pemerhati Lingkungan dan Generasi)

0 Komentar