NUSANTAR45.ID, BANDUNG - Temuan terbaru menunjukkan bahwa, korupsi masih menjadi hambatan besar bagi peningkatan kesejahteraan buruh di Indonesia. Meskipun skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) membaik dari 34 menjadi 37/100 dan peringkat naik ke 99 dari 180 negara, Transparency International menegaskan bahwa kenaikan kecil ini belum mencerminkan perbaikan struktural.
Korupsi tetap dianggap sebagai masalah serius dalam tata kelola sektor publik. Pada saat yang sama, kondisi pasar kerja menunjukkan kerentanan yang mengkhawatirkan. Data BPS Februari 2025 mencatat bahwa 59,40% pekerja Indonesia, sekitar 86,5 juta orang bekerja di sektor informal, naik dari 57,95% tahun sebelumnya. Pekerja informal umumnya bekerja tanpa kontrak formal, tanpa jaminan sosial, pensiun, maupun perlindungan saat PHK. Hanya sekitar 16% pekerja informal yang terlindungi BPJS Ketenagakerjaan.
“Dominasi pekerja/buruh informal menunjukkan bahwa mayoritas buruh Indonesia masih bergantung pada pekerjaan rentan tanpa jaminan sosial dan upah layak," demikian dikatakan Ketua DPD FSP LEM SPSI Jawa Barat, Muhamad Sidarta kepada media ini, Selasa (09/12/2025).
Dijelaskannya, ada 4 dampak korupsi yang sangat berpengaruh terhadap buruh. Pertama, upah dan kesejahteraan buruh tidak tumbuh optimal. "Pelanggaran upah minimum tetap terjadi secara luas. Lemahnya pengawasan sering dikaitkan dengan praktik suap membuat buruh menerima upah di bawah standar. Korupsi juga menekan investasi dan pertumbuhan ekonomi, sehingga mempersempit ruang kenaikan upah layak," terangnya.
Yang kedua, lapangan kerja formal menyusut. "Pungli dan birokrasi tidak transparan membuat investor enggan masuk ke sektor padat karya. Perusahaan lebih memilih mengandalkan sistem kontrak, outsourcing dan magang. Akibatnya buruh kehilangan stabilitas dan kesempatan kerja jangka panjang," ungkapnya.
Yang ketiga adalah jaminan kesehatan terganggu. "Korupsi dalam pengadaan obat dan alat kesehatan menyebabkan layanan publik tidak optimal, antrian panjang, obat kosong, fasilitas minim. Buruh berpendapatan rendah yang sangat bergantung pada BPJS adalah kelompok yang paling terdampak, sering kali pasien belum sembuh dalam perawatan rumah sakit sudah disuruh pulang. Perusahaan yang lebih besar terpaksa mendaftarkan pekerjanya ke asuransi Kesehatan disamping tetap membayar BPJS Kesehatan (dobel Kover) agar tidak kehilangan banyak jam kerja.," ujar Sidarta.
Adapun yang keempat yaitu perlindungan pensiun dan sosial rapuh. "Kasus besar seperti Jiwasraya (Rp 16,8 T) dan Asabri (Rp 22,7 T) menunjukkan rapuhnya pengawasan dana publik. Ketika negara harus “menambal” kerugian, ruang fiskal untuk perlindungan buruh seperti Jaminan Kehilangan Pekerjaan ikut menyempit," tandasnya.
Atas dasar tersebut, kata Sidarta, dalam momentum Hari Anti Korupsi Sedunia, 9 Desember 2025. Kami perwkilan dari FSP LEM SPSI Jawa Barat menyatakan bergabung dengan Forum Urun Rembug Nasional Serikat Pekerja–Serikat Buruh dalam aksi “Kepung Gedung Merah Putih KPK” di Jakarta, pukul 13.00 WIB sampai dengan selesai.
"Aksi ini merupakan bentuk perlawanan moral buruh Indonesia terhadap praktik korupsi yang merusak kehidupan buruh dan masa depan keluarganya," sebutnya.
Oleh karenanya FSP LEM SPSI Jawa Barat menegaskan turut menyuarakan tuntutan utama: “Tangkap dan Adili Para Koruptor Tanpa Pandang Bulu!”
"Selama koruptor tidak ditindak tegas, kesejahteraan buruh tidak akan pernah naik secara berkelanjutan karena anggaran, program sosial, dan penegakan hukum terus dikorupsi oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab," pungkas Sidarta.[*/Red]

0 Komentar